Engkau berfikir tentang dirimu sebagai seonggok materi semata, padahal di dalam dirimu tersimpan kekuatan tak terbatas (Ali bin Abi Thalib)

Senin, 12 Maret 2012

EPISODE UNIVERSITAS KEHIDUPAN

Bersyukurlah akan ketidak mampuan...
karena darinya-lah kita belajar untuk mampu..

Sampai pada titik ini, ternyata ada banyak hal yang patut aku syukuri menjadi mahasiswa di Universitas Kehidupan. Universitas ini otomatis memasukkan semua manusia di dunia ini menjadi mahasiswanya, tapi hanya sebagian diantaranya yang bisa menerima materi kuliahnya, dan mengambil kesimpulan dari setiap pelajaran dari kehidupan itu sendiri.

23 tahun usia yang aku jalani, walau tidak serumit alur cerita sebuah sinetron, tapi 23 lembar tahun cukup bagiku untuk memetik banyak pelajaran. Tempaan kehidupan sampai di usia saat ini ku berdiri, ternyata menjadi jalan tuk memperbesar kapasitas diriku.

Masih jelas terkenang, tepat 7 tahun yang lalu kehidupan rumah tangga ku mulai di usia yang belum genap 20 tahun. Pemaksaan diri untuk menjadi lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Dan ternyata pemaksaan itu berbuah manis, aku lebih bertanggung jawab dengan kehidupan yang ku jalani.

Juga masih bisa ku putar dengan jelas seluruh kenanganku berpindah-pindah rumah kontrakan sampai 5 kali, kemudian akhirnya bisa kredit rumah tipe 30 dengan luas 5x6 meter.

kemudian ingatanku  berkelana lagi saat buah hati yang kami tunggu-tunggu menemui Rab-nya sebelum sempat bertemu kami, orang tuanya. Keguguran itu bahkan terulang 2 kali. Ujian kehidupan yang menuntut kami untuk tawakkal pada kehendak-Nya.

Ah, kehidupan memang terus memberikan materi kuliahnya meski tak diminta. 
Sempat ekonomi keluargaku nge-drop, gaji yang memang sudah pas-pasan, harus kena pemotongan dari perusahaan, Jadilah jalan satu-satunya untuk mengamankan perut dengan mencari penghasilan lain. Berjualan adalah ide yang paling realistis karena tak butuh keterampilan tingkat tinggi. Maka mulailah kami berjualan es buah dititipkan di koperasi Rumah sakit, siangnya aku berjualan pop ice di rumah, bila subuh menjelang, aku sibuk di dapur menyiapkan jualan nasi uduk. Sebenarnya tak pernah terbayang sebelumnya aku bisa melakukan hal seperti itu,karena sejak kecil aku adalah tipe anak yang gengsinya selangit, berjualan adalah hal yang paling memalukan. Bahkan sampai saat usaha jualan itu ku lakoni, rasa gengsi itu terus mengganggu. Rasanya wajahku ingin ku sembunyikan sejenak dalam baju saat harus mengantarkan jualanku ke tempat kerja suami. Atau rasa ogah menerima dengan tangan sendiri hasil jualannya dari penjaga koperasi. Lagi, kehidupan mengajarkan materi pantang menyerah dan percaya diri dari kondisi kesusahan seperti ini.

Dulunya, aku tak begitu senang dengan tantangan, aku selalu manyun bila guru memberi games di awal kelas dengan pertanyaan-pertanyaan yang menantang. Ternyata Dosen kehidupan tau itu, maka Dia pun memberikan materi itu secara tak terduga.
Sore itu suami pulang membawa kabar yang tak menyenangkan. Beliau dipindah tugaskan oleh Rumah Sakit ke cabangnya yang terletak di bagian tengah pulau Jawa,  padahal saat itu, kami berdomisili di bagian baratnya.
Terbayang bagaimana menyedihkannya hidup di perantauan tanpa sanak saudara satu pun, dan kini harus ditinggal pula oleh suami tercinta. Hanya ada si bayi Nada yang menemani. Tapi kepindahan itu bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah komando. Jadi dengan hati yang ditegar-tegarkan aku mengantar suami pergi.
Kini tinggal aku, baby nada dan sebuah sepeda motor yang bisa menjadi pengganti suami dalam mengurusi berbagai hal urusan external. Masalahnya aku belum mahir mengendarainya, paling sempat muter-muuter di alun-alaun, itu pun ada sang suami sebagai rem dan standar kedua.
Barang kebutuhan mulai habis, air gallon pun tinggal beberapa teguk, padahal depot pengisian air mineral hanya ada di pusat kota yang berjarak sekitar 10 km dari rumah. Dari ruang tamu si sepeda motor yang terparkir berhari-hari seakan menantang tuk di kendarai menuju pasar dan depot air. Desakan dapur dan rasa takut saling beradu. Apakah menaklukkan rasa takut, atau terpaksa masak air minum dan makan mie instan selamanya karena pake angkot pun sama ribetnya. Akhirnya tantangan si sepeda motor ku terima, walau keringat dingin mengucur deras saat motor itu mulai ku naiki, ku kuatkan diri tuk tidak menyerah dan tetap berangkat.
Baru sampai  gang depan rumah, aku sudah jatuh bersama si sepeda motor, karena tak ada yang menolong, aku bangkit sendri dan memberdirikan sepeda motorku.  Kakiku lebam-lebam, bahkan ada yang luka, si sepeda motor pun tak luput dari lecet-lecet, tapi dasar sepeda motor sinting, dia tetap menantangku tuk melanjutkan perjalanan. Karena tak mau di bilang pengecut, aku menerrima tantangannya lagi. Kembali kami melanjutkan perjalanan dalam aroma persaingan. Ternyata si sepeda motor menderita luka yang lebih serius dari sekedar lecet-lecet. Stang kaki bagian kiri depan bengkok, sehingga mengganggu pengoperan persnelinnya, karena takut terjadi apa-apa, ku putuskan untuk mengistirahatkannya di bengkel, dan mengambilnya kembali sepulang dari pasar.
Lebam dan lecet masih terasa, tapi perasaan menang dan puas lebih menggerogoti hatiku malam itu. Ternyata rasa takut harus di taklukkan, bukannya di hindari. Karena hasilnya lebih memuskan. Sejak saat itu aku bisa  dan berani mengendarai motor sendiri.
(to be continue)